Idul Fitri karya Sutardji Calzoum Bachri
Pada akhir minggu bulan ini kaum muslim merayakan hari kemenangan yakni memasuki bulan suci ramadan. Setelah melewati berbagai sunnah pada bulan ramadan. Puasa dilakukan selama satu bulan penuh untuk menuju pada hari kemenangan. Hal ini sesuai dengan puisi yang akan kita ulas memiliki kesamaan tema pada bulan Ramadan saat ini. Puisi oleh Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul ‘Idul Fitri’ sudah jelas tergambarkan bahwa di dalam puisi tersebut menggambarkan mengenai bulan suci ramadan yang dilaksanakan oleh seluruh kaum mulim.
Berdasarkan keseluruhan kata demi kata yang disusun penyair dalam puisi tersebut dapat dipahami bahwa penyair menggambarkan keinginan seseorang untuk kembali pada jalan lurus yakni jalan menuju ridho Allah. Setiap ciptaanNya pasti tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga pada bulan suci Ramadan biasanya dimanfaatkan umat muslim untuk saling introspeksi diri dan menurunkan ego masing-masing untuk saling memaafkan segala kesalahan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu bulan suci Ramadan juga seringkali dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk bertaubat agar dapat kembali ke jalan yang seharusnya. Hal tersebut sejalan dengan isi puisi yang penyair coba sampaikan pada pembaca.
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Pada baris pertama hingga ketiga dapat dipahami bahwa tokoh yang diceritakan penyair sungguh menyesali perbuatannya pada masa lampau, ia menyesali telah membuang-buang waktu untuk abai pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan olehNya. Pada baris kedua terdapat penggunaan kata ‘pedang tobat’ yang dapat diartikan bahwa pedang merupakan keinginan tobat yang menggebu-nggebu oleh seseorang yang diceritakan oleh penyair pada puisi tersebut sehingga keinginan untuk tobat tersebut membuatnya tersiksa lantaran perbuatan-perbuatan yang telah ia lakukan sebelumnya.
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Diikuti oleh untaian kata pada baris keempat hingga baris 12 puisi ‘Idul Fitri’ karya Sutardji Calzoum Bachri yang menggambarkan bahwa tokoh ‘aku’ telah mencoba segala cara ketetapan yang dianjurkan pada bulan suci Ramadan untuk menebus segala dosa-dosa yang telah ia buat di masa lampau. Digambarkan bahwa tokoh ‘aku’ melaksanakan puasa penuh pada bulan suci Ramadan, melaksanakan sholat malam untuk memohon ampun agar dibukakan pintu taubat olehNya. Selain itu tokoh ‘aku’ juga digambarkan bahwa ia dengan ikhlas melakukan ketetapan-ketetapan tersebut untuk menunggu Allah mengampuni dosa-dosanya. Segala hal yang dilakukannya tersebut ia harapkan agar dapat bertemu dengan malaikat utusan Allah, namun penantian dan harapannya tersebut lenyap karena tokoh ‘aku’ tidak dapat menemukan sosok malaikat yang ia cari. Tidak bertemunya tokoh ‘aku’ dengan malaikat tersebut tidak membuatnya putus asa, ia memotivasi dirinya sendiri agar dapat lebih berpikir yang baik.
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
Pada penggalan puisi di atas dapat dipahami bahwa segala upaya atau perlakuan tokoh ‘aku’ yang diusahakan untuk bertaubat mungkin belum cukup untuk menebus segala dosa-dosa yang pernah ia lakukan pada masa lampau sehingga ia belum dapat bertemu dengan malaikat yang ingin ia temui. Dengan kesadaran dan pikiran positif yang ia miliki harapan-harapan baik tetap ia munajatkan padaNya bahwa ia akan tetap melakukan ketetapan-ketetapan baik agar ia dapat ampun dan menebus segala dosa-dosanya. Selain itu, pada penggalan puisi tersebut juga digambarkan betapa menyesalnya tokoh ‘aku’ telah menyia-nyiakan usia yang ada tanpa beribadah atau tanpa beriman padaNya.
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia
Dapat dilihat pada penggalan puisi di atas yakni digambarkan bahwa tokoh ‘aku’ merupakan bekas pemabuk yang mengharapkan ampun berdasarkan apa-apa yang telah dilakukannya pada masa lampau. Tokoh ‘aku’ mulai menyesali apa yang telah ia lakukan dan memohon pada Tuhan agar diterima niat taubatnya, selain itu tokoh ‘aku’ memohon agar tidak kembali pada situasi masa lalu yang membuatnya lupa akan jalan lurus.
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana
Pada bait terakhir penyair menggambarkan bahwa tokoh ‘aku’ yakni bekas pemabus tersebut siap dengan segenap hati untuk memulai kehidupan yang baru. Ia pergi melaksanakan sholat idul fitri dengan niat agar kembali suci. Pada puisi tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap umat berhak mendapatkan kesempatan kembali ke jalan lurus atau kembali pada ketetapan yang seharusnya. Puisi yang berjudul ‘Idul Fitri’ tersebut menggunakan pilihan kata yang ringan sehingga pembaca dapat memahami isi yang disampaikan penyair dengan mudah.
Komentar
Posting Komentar