Eksistensi dan Citra Perempuan dalam Lima Cerita Pendek Karya M.Shoim Anwar

Semua pikiran, ide, dan pendapat yang diungkapkan dalam bentuk tulisan maupun lisan oleh seseorang secara imajinatif maupun layaknya reka adegan di kehidupan nyata dapat diyakini bahwa karya tersebut merupakan bentuk dari sastra. Suatu karya sastra memiliki banyak titik pusat tersendiri untuk menarik perhatian pembaca karena di dalam karya sastra sendiri memiliki banyak cerita-cerita yang dihasilkan oleh ciptaan imajinasi penulis dan cerita nyata yang hidup dan berkembang di kehidupan masyarakat. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang kita menjumpai adanya kesamaan cerita atau kejadian yang terdapat dalam novel, cerpen, maupun bentuk karya lainnya, nah biasanya kalau anak milenial zaman sekarang menyebutnya dengan istilah relate. Relate merupakan istilah bahwa adanya suatu persamaan keadaan,perasaan, maupun kejadian dari satu objek yang dilihat atau dibaca dengan keadaan asli yang ia jalani di kehidupan nyata. Sastra kiranya merupakan hal yang dapat dinikmati dengan berbagai cara dan tidak terikat dengan satu pendapat saja sehingga masyarakat dapat mengapresiasi karya tersebut dengan berbagai cara 

Salah satu cara untuk mengapresiasi suatu karya baik karya ilmiah maupun sastra yakni dapat dilakukan dengan menulis kritik esai atau esai saja berdasarkan objek yang ingin diulas. Kali ini tidak jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang lalu, penulis melakukan salah satu apresiasi salah satu jenis karya sastra yakni berfokus untuk menulis kritik esai dengan fokus topik atau objek cerita pendek. Istilah cerita pendek atau cerpen kiranya bukan hal yang tabu lagi bagi pembaca. Cerpen sudah dikenalkan di SMP oleh pendidik bahkan mungkin ada yang sudah mengetahui eksistensi cerpen di bangku SD. Hal tersebut bisa saja terjadi karena memang dapat dibuktikan bahwa cerpen merupakan salah satu karya sastra yang digemari oleh sebagian peserta didik di Indonesia. Cerpen merupakan tulisan yang dapat dibaca dengan mudah dan dengan waktu yang singkat pula. Cerpen dapat dikatakan sebagai adik dari novel karena susunan halaman  cerita pendek relatif lebih sederhana dan singkat daripada dengan susunan halaman novel. 

Selain karena memiliki waktu yang singkat dalam proses pembacaannya, cerpen juga memiliki batasan kata untuk susunan penulisannya yakni pada jumlah kata yang digunakan untuk menyusun kalimat demi kalimat dari cerita pendek biasanya tidak lebih dari 10.000 kata dan isi dari cerita pendek itu sendiri biasanya juga mengenalkan permasalahan yang sederhana dalam artian bahwa cerita pendek tersebut mengisahkan mengenai suatu permasalahan yang dihadapi oleh satu tokoh saja sehingga tidak dijumpai tokoh dan alur cerita yang kompleks pada suatu cerita pendek. Padahal penulis juga seringkali menjumpai cerita pendek yang memiliki alur cerita yang kompleks dan hal ini berbanding lurus juga jika berhubungan dengan novel. Isi di dalam novel tidak memiliki keterbatasan jumlah penggunaan kata, tokoh, dan alur cerita, namun kerapkali juga terdapat novel yang tidak terlalu kompleks dalam penyusunan cerita baik dari penokohan hingga ke alur cerita. Kritik esai kali ini berfokus pada cerita pendek karya M.Shoim Anwar. Berbeda dengan ulasan-ulasan sebelumnya, kali ini penulis akan mengulas lima judul cerita pendek sekaligus karya M.Shoim Anwar. Cerita pendek yang akan diulas yakni berjudul Sorot Mata Syaila, Tahi Lalat, Sepatu Jinjit Ariyanti, Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dan Jangan ke Istana,Anakku.

Berdasarkan paparan lima judul cerita pendek di atas penulis dapat memaknai bahwa tiga dari lima cerita pendek tersebut berhubungan dengan perempuan yakni pada cerita pendek yang berjudul Sorot Mata Syaila, Sepatu Jinjit Ariyanti, dan Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue kecuali dua cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat, dan Jangan ke Istana,Anakku. Dari pendapat tersebut penulis membaca cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat terlebih dahulu untuk memastikan apa yang disampaikan M.Shoim Anwar dalam cerita pendek berjudul Tahi Lalat tersebut. Pendapat itu nyatanya terbantahkan oleh pikiran penulis sendiri ketika selesai membaca cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat dan diikuti dengan satu cerpen lainnya yang berjudul Jangan ke Istana,Anakku. Penulis meyakini setelah membaca satu per satu dari lima judul cerita pendek di atas bahwa cerita pendek di atas ada sangkut pautnya dengan perempuan. Memang adakalanya saat ini sosok perempuan selalu menunjukkan eksistensinya pada setiap hal, entah itu mengenai organisasi yang anggotanya banyak perempuan, ataupun mengenai politik atau kenegaraan yang dipimpin oleh perempuan.

Jika ditarik ke belakang eksistensi perempuan kiranya tidak sebegitu melonjak seperti saat ini. Pada kejadian demo tahun lalu mengenai keputusan-keputusan yang diambil pihak petinggi yakni dapat ditemukan bahwa banyak perempuan yang berorasi, yang memimpin jalannya demo suatu organisasi baik dari kumpulan mahasiswa maupun pekerja swasta. Hal tersebut rupanya sudah berbanding terbalik dengan pandangan masyarakat mengenai peran perempuan di kehidupan masyarakat bahwa peran masyarakat harus ada di bawah lelaki. Dulu banyak pekerja lelaki namun berbeda dengan saat ini, saat ini peran tersebut sudah tergantikan. Sejauh mata memandang ketika pekerja keluar dari salah satu pabrik yang terlihat banyak dan dominan ialah perempuan bukan laki-laki. Baik dari kejadian-kejadian seperti itu maupun isi dari lima judul cerita pendek di atas yakni memiliki persamaan konsep. Persamaan tersebut terletak pada adanya eksistensi perempuan dalam setiap peristiwa. Pendapat-pendapat seperti itu memang kiranya selaras dengan pendapat atau pikiran penulis mengenai konsep dari lima judul cerita pendek di atas.

Berdasarkan lima judul cerita pendek karya M.Shoim Anwar tersebut jika dipahami lebih dalam dan menyeluruh penulis mendapat gambaran dari isi cerita pendek yang disampaikan penulis cerita pendek tersebut. Sebelumnya sempat penulis singgung secara singkat bahwa di dalam lima judul cerita pendek di atas yakni mengenai perempuan atau ada hubungannya tentang perempuan. Adanya pikiran tersebut karena penulis berpaku dan berfokus pada judul yang tertera saja meskipun juga didukung dengan sebagian isi dari dua judul cerita pendek yang memiliki judul dengan konsep yang berbeda yakni pada cerita pendek berjudul Tahi Lalat dan Jangan ke Istana,Anakku. Penulis dapat memecahkan rasa penasarannya dengan isi setiap dua cerita pendek tersebut. Pada cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat yang awalnya penulis kira tidak ada sangkut pautnya dengan sosok perempuan karena memiliki judul yang berbeda dengan lainnya nyatanya kekeliruan. Dalam cerita pendek Tahi Lalat tersebut malah adanya sosok perempuan yang dijadikan sebagai tokoh utama dari penyajian cerita-cerita yang dituliskan oleh M.Shoim Anwar. 

Pendapat berbeda muncul ketika penulis membaca cerita pendek lainnya yang berjudul Jangan ke Istana,Anakku. Judul tersebut jika dilihat sekilas memang tidak menyebutkan adanya gender baik perempuan ataupun laki-laki yang mana biasanya jika terdapat penyebutan gender di dalam judul suatu karya sastra ataupun karya lainnya, maka hal tersebut sebagian besar dapat dipastikan bahwa isi dari suatu karya tersebut ialah mengenai gender yang disebutkan dalam judul. Berbeda kasus dengan cerpen satu ini, judul cerpen tersebut hanya menyebutkan kata ‘Anakku’ saja sehingga kata tersebut masih belum jelas tokoh ‘Anakku’ tersebut bergender perempuan atau laki-laki, namun selepas membaca isi cerpennya adanya tokoh gadis cilik yang dapat disebut sebagai tokoh ‘Anakku’ tersebut. Untuk judul cerita pendek lainnya dapat dipastikan bahwa adanya eksistensi perempuan di dalamnya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada setiap cerita pendek di atas yakni adanya tokoh Syaila yang kiranya memiliki peran sebagai jembatan dari sang kuasa untuk menghukum Matalir karena ia merupakan seorang yang telah melakukan kecurangan dan kejahatan di negaranya. Matalir melarikan diri dari negaranya ke Abu Dhabi dan di perjalannya untuk berganti ke lokasi lain ia bertemu dengan Syaila yang mana pertemuan tersebut nyatanya menjadi akhir dari keinginannya untuk dapat lolos dari hukuman yang seharusnya ia terima. 

Berdasarkan cerita pendek yang telah penulis baca selain adanya eksistensi perempuan dalam lima judul cerita pendek di atas rupanya terdapat konsep lain yang membangun cerita-cerita di atas yakni adanya konsep penyalahgunaan kekuasaan, adanya sosok perempuan yang dikorbankan pada suatu keadaan. Pada cerita pendek berjudul Sorot Mata Syaila memiliki konsep yang sama dengan cerita pendek berjudul Sepatu Jinjit Ariyanti yakni adanya tokoh yang melarikan diri ke negara lain untuk menyelamatkan diri. Pada cerita pendek Sorot Mata Syaila adanya tokoh Matalir yang memutuskan meninggalkan keluarga di tanah air dan melarikan diri sendiri ke negara lain untuk menghindari dari proses hukum akibat ulahnya sendiri. Sesampainya ia di negara lain tersebut ia bertemu dengan perempuan bernama Syaila. Kemunculan Syaila ibarat seperti karma yang diterima oleh Matalir atas penebusan dosa-dosa yang telah ia lakukan di tanah air hingga akhirnya Matalir berakhir tewas. Persamaan cerita Sorot Mata Syaila dan Sepatu Jinjit Ariyanti yakni adanya pelarian diri dan adanya perempuan yang dikorbankan atas peristiwa yang terjadi. Perbedaannya dengan cerita pendek berjudul Sepatu Jinjit Ariyanti yakni adanya dua tokoh yang melarikan diri dari negaranya yakni saksi mahkota Ariyanti dan satu penjaganya atas kasus pembunuhan berantai yang telah tejadi. Perbedaan lain yang dapat penulis pahami yakni tidak ada akhir tragis untuk cerita Sepatu Jinjit Ariyanti ini dan sebagai gantinya adanya kisah romantis yang lahir. 

Selain persamaan dan perbedaan yang telah diuraikan di atas mengenai dua cerpen yang berjudul Sorot Mata Syaila dan Sepatu Jinjit Ariyanti, persamaan dan perbedaan lain juga terdapat pada tiga cerita pendek lainnya yang berjudul Tahi Lalat, Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dan Jangan ke Istana, Anakku. Ketiga cerita pendek tersebut memiliki persamaan dengan dua cerita pendek sebelumnya yakni terletak pada sisi eksistensi perempuan yang menjadi korban suatu kejadian. Selain persamaan tersebut terdapat persamaan lain yakni adanya perlakuan yang sewenang-wenang oleh salah satu tokoh yang terdapat dari tiap tiga cerita pendek tersebut. Cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat menceritakan mengenai adanya desas desus kepemilikan tahi lalat sebesar biji randu yang dimiliki istri Pak Lurah. Desas-desus tersebut menghebohkan warga sekitar dan menjadi bahan ghibah. Di samping desas-desus kepemilikan tahi lalat tersebut, istri pak lurah juga dighibah bahwa ia kiranya main gila dengan bos proyek dan bahkan ada yang mengghibah istri Pak Lurah tersebut pernah keluar berdua. Perlakuan sewenang-wenang pada cerita Tahi Lalat terdapat pada tokoh Pak Lurah yang mana beliau tidak menepati janji-janji yang ia lontarkan ketika pemilihan dan kabarnya Pak Lurah juga seringkali memaksa warganya melalui bawahannya untuk menyetujui untuk menjual tanah dari warga sendiri dengan harga yang mahal. 

Setelah warga melepas tanahnya, sawah dan ladangnya dibangunlah perumahan-perumahan mewah. Dari ulasan tersebut dapat dipahami bahwa dalam cerita pendek Tahi Lalat adanya peran perempuan yang dikorbankan berupa sebagai bahan perghibahan warga sekitar. Jika dipahami konsep dua cerita pendek yang disampaikan penulis sama dengan cerita pendek lain yang berjudul Bambi dengan Perempuan Berselendang Baby Blue. Persamaan konsep cerita pendek Tahi Lalat dan Bambi dengan Perempuan Berselendang Baby Blue juga mengenai adanya peran perempuan yang dikorbankan oleh salah satu tokoh yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai hakim. Bambi merupakan tokoh yang menjabat sebagai hakim dan ia seringkali memanas-manasi kliennya untuk menggugat permasalahan yang dipercayakan pada Bambi. Bambi nyatanya hanyalah membual mengenai janji bahwa ia akan memenangkan kasus kliennya tersebut. Janji tersebut diterima manis oleh Bambi lantaran telah menerima uang yang berlebih dari kliennya atas janji-janji yang dia lontarkan pada kliennya tersebut. Pada kasus lain pun Bambi dengan enteng meminta seorang gadis sebagai imbalan atas suatu kasus yang ia gagal tangani. Keira, Dewi, dan tokoh Saya merupakan tokoh yang merasakan kerugian dalam peristiwa yang diceritakan oleh penulis, sedangkan Bambi merupakan hakim yang bertindak sewenang-wenang atas jabatan yang ia terima. 

Sejalan juga dengan cerita pendek yang berjudul Jangan ke Istana, Anakku yang memiliki konsep penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dan adanya peran perempuan yang dikorbankan atau dirugikan. Seorang penjaga Istana harus merelakan kehilangan sang istri atau dapat kita katakana dengan kepergian. Kejadian tersebut bermula ketika sang istri berkunjung ke istana untuk bertemu dengan sang suami yang bekerja di sana sebagai penjaga istana. Sang suami melihat istrinya berjalan memasuki istana namun ia bukannya bisa bertatap muka langsung dengan sang istri malah ia tidak mendapati sang istri keluar dari istana tersebut. Keyakinan bahwa sang istri telah meninggal muncul berkali lipat ketika ia menyaksikan banyak wanita yang datang ke istana namun ia tidak melihat satupun yang keluar dari istana. Belum sembuh luka yang ia terima karena kehilangan sang istri di istana, sang putri merengek meminta agar ia bisa masuk ke istana dan bisa merasakan tinggal di istana. Sang ayah yang mana merupakan sebagai penjaga istana yang mengetahui suka duka kehidupan di istana menentang keinginan sang putri deng tujuan agar putrinya dapat hidup bebas dan layaknya manusia. Tidak ada pembatas-pembatas yang diberlakukan dalam kehidupan putrinya kedepannya, namun harapan dan tujuan tersebut pupus ketika ia melihat putrinya memasuki gerbang istana dan digiring penjaga lain untuk memasuki istana sesungguhnya. Sang ayah benar-benar ketakutan dan ia mau tidak mau harus mengalami kehilangan orang yang ia cintai kedua kalinya di tempat yang sama. Ia tidak bisa berkutik karena pekerjaannya membatasi untuk ikut campur setiap wewenang dari penghuni istana atau dapat disebut dengan Raja. Atas wewenang tersebut banyak korban perempuan-perempuan dari luar istana yang masuk ke istana namun tidak bisa kembali atau tidak bisa keluar dari istana.

Berdasarkan uraian dari lima cerita pendek yang berjudul Tahi Lalat, Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, Sepatu Jinjit Ariyanti, Sorot Mata Syaila, dan Jangan ke Istana, Anakku dapat penulis simpulkan bahwa konsep yang disampaikan penulis cerita pendek itu sendiri merupakan adanya konsep penyalahgunaan kekuasaan/jabatan sehingga ia dapat bertindak sewenang-wenang dengan melakukan tindakan yang kurang baik yang dapat merugikan orang-orang tersayang di sekitarnya. Tindakan-tindakan yang dilakukan tokoh tersebut adakalanya berdampak dengan dirinya sendiri dan berurusan dengan hukum di negaranya sendiri adapula yang menikmati perlakuan penyalahgunaan jabatan atau wewenang tersebut. Selain konsep penyalahgunaan kekuasaan konsep yang menonjol ialah adanya eksistensi perempuan yang banyak menerima perlakuan tidak adil dan tidak baik dari cerita pendek yang disampaikan oleh M.Shoim Anwar. Seperti yang penulis singgung di awal bahwa perempuan merupakan objek yang menarik untuk diulas dan diperbincangkan karena banyaknya pendapat mengenai citra perempuan itu sendiri sesuai dengan ucapan tokoh ‘Aku’ dalam cerita pendek berjudul Tahi Lalat bahwa “Citra perempuan lebih sensitif untuk dimainkan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sulastri dan Empat Lelaki

Menyelami Sisi Lain dari Puisi 'Dursasana Peliharaan Istana' karya M.Shoim Anwar

Tahi Lalat Mengundang Tanya